L

Header Ads
Tiny Star

Hati perempuan laksana danau

kau tak akan tahu isinya kalau hanya sekadar mendayung perahu dipermukaan

Perjalanan...

Bersamamu ternyata jalan ini lebih indah, meski kadang tak mudah

Ketika kau bertanya apa warna yang kusuka

ketahuilah, bahwa aku suka sekali warna langit ketika matahari hendak bersembunyi

Indah?

...dan surga jauh lebih Indah

Menurutmu mana yang lebih kuat antara karang atau ombak?

Bagiku Ombak lebih kuat sebab meski tahu akan pecah tetapi dia tetap memenuhi janji pada pantai

lembar fiksi

Zlappp…. Aku tiba-tiba telah berada di sebuah ruangan asing, lembab, dan dingin.
“Dimana?” Tanya batinku, dan tentu saja tak ada jawaban yang terlontar. Belum hilang rasa terkejutku, seseorang tiba-tiba hadir dengan gaun biru dan wajah pucat, tepat ketika aku mulai melangkah, mencoba untuk mengenali ruangan yang rasanya pernah ada dalam memoriku.
“Siapa?” gugupku bertanya.
“Kamu tidak mengenaliku lagi?”
Keningku berkerut, mencoba membuka kembali file-file yang tersimpan di otakku, namun tak kutemukan wajahnya di antara file-file yang berhasil terbuka.
“Tidak,” jawabku menunduk.
“Begitu cepat kau melupakan aku? Padahal karena aku kau berhasil membeli sebuah jam tangan” jawabnya berjalan mendekatiku.
“Bagaimana bisa?” gumamku,
“Bagaimana bisa?” ulangnya meledek
“Kenapa tidak?” bentaknya kemudian.
“Tolong jangan menambah kebingunganku karena aku telah sangat bingung, kenapa bisa tiba-tiba berada di ruangan yang nyaris tidak kukenal” jawabku datar.
“Kenapa bingung Keisya?” dahiku kembali mengernyit.
“Itu nama penaku” bisikku ragu.
“Kenapa? Aku berhak memanggilmu Keisya karena kita berkenalan dengan nama itu”
“Tidak, aku benar-benar tidak mengenalimu”
“Namaku Mitri, ingat?” aku langsung menggeleng karena memang aku tak ingat
“Ayolah Keisya, kenapa secepat itu melupakanku? padahal ‘rumah hantu’ itu masih tersimpan di komputermu” aku terperanjat.
“Dimitri?” gumamku tak percaya, pantas saja ruangan yang berukuran 4x6 yang cuma diterangi lampu lima watt ini rasanya pernah kukenal. Ah, tapi tidak mungkin, aku masih cukup waras untuk bisa terseret dalam lembar fiksiku sendiri. Aku mengerjap, mencoba untuk sadar bahwa ini semua cuma mimpi.
“Apa yang kau lakukan Keisya? mencoba menghindariku?” ejeknya di sela-sela tawa yang kini mampu membuat bulu romaku berdiri.
“Apa maumu?”gagapku bertanya.
“Aku mau jadi orang baik,” senyumnya licik.
“Tidak, tidak mungkin, dalam setiap kisah selalu ada peran sepertimu,” bentakku mencoba rasional.
“Tidak selalu, tapi kalaupun ada jangan aku.”
“Dengar Mitri, aku tak berniat menjadikanmu seperti ini tapi alur ceritalah yang menggambarkanmu sebagai tokoh kejam dan licik.”
Ia kembali tertawa.
“Mungkin kau sedikit lupa Keisya, aku mengenalmu sejak tanganmu membentukku, jadi sia-sia saja mengkambinghitamkan alur cerita karena kaulah yang merancang itu semua, bukan?” aku menggeleng.
“Aku tidak bisa merubahmu”
“Kamu menentangku Keisya?” ia mendekat, persis seperti gambaran dalam cerpenku yang berjudul rumah hantu itu. Taring tajam muncul dalam seringaiannya.
“Aku adalah tokohmu yang bisa lakukan apa saja kan Keisya?” ia makin mendekat.
“Jangan” perintahku terdengar seperti permohonan, tapi sia-sia saja karena apa yang kutulis benar-benar terjadi. Aku tak menyangka kejadian sebenarnya bisa lebih mengerikan ketimbang khayalanku sendiri, daging diototnya mulai meleleh, bau anyir darah menyergap hidungku, ia mencekikku.
“Aku cuma mau kau merubah karakterku Keisya” bentaknya di telingaku, paru-paruku seakan mau meledak karena kurangnya pasokan oksigen kesana. Malangnya, aku tak menjelaskan bagaimana cara menghentikan hantu ini sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa sekarang.
“Aku minta maaf.”
“Yang kuminta bukan maafmu tapi karakterku,” jawabnya sengit.
“Kenapa?” suaraku makin lirih.
“Pertanyaan bagus, Keisya!” ia menarik tangannya dari leherku.
“Karena aku ingin seperti orang yang jarang kulihat namun sulit kulupa” ia mulai bercerita.
“Seorang wanita yang setiap gerakannya berirama dzikir, dengan jilbab lebar yang sesekali berkibar, ia terbebas dari santapan mata-mata pemerhati tubuh wanita, ia dihormati karena memang ia menghormati dirinya”
“Apa yang kau tahu tentang dzikir? Sedangkan kau cuma….”
“Cukup keisya, kau memang keras kepala. Bukankah aku berhak untuk insyaf, untuk sadar bahwa keadaan tidak akan lebih baik jika aku tidak berubah,” potongnya.
“Tapi kau bukan ciptaan-Nya.”
“Khayalanmu terlalu besar, kau pikir aku ini ciptaanmu?” potongnya lagi, dan kembali mencekikku dengan kuat, sangat kuat.
“Dek..” suara itu mengejutkanku, aku meraba leher dan tak ada tangan Mitri disana.
“Kenapa?” Tanya kak Syifa memperhatikanku yang basah oleh keringat.
“Mimpi buruk kak,” jawabku lemah karena rasanya paru-paruku telah lama tak dijamah oleh oksigen.
“Makanya, selesai subuh jangan tidur lagi,” ujarnya sambil tersenyum.
* * *
Krk..krk..krk…, aku meremas kertas kesekian yang akhirnya mendarat di tempat sampah di sudut kamar. Aku benar-benar pusing untuk memulai sebuah cerita islami, khayalanku tak sampai untuk menggambarkan kehidupan berirama dzikir seperti yang diinginkan Mitri. Hantu yang mendatangiku berkali-kali itu sangat nekat sehingga memaksaku menulis sesuatu yang asing bagiku, dunia akhwat!
Sebenarnya kak Syifa itu lumayan mirip dengan sosok yang diinginkan Mitri, tapi angkuh menahanku untuk bertanya tentang baju longgar dan kaos kaki yang selalu dipakainya. Malas kumelangkah menuju lemari yang disesaki buku-buku milik kak Syifa, tak ada cara lain yang bisa kutempuh untuk mengerti dunia para penjaga pandangan itu selain membaca buku-buku tentang mereka. Mataku mencari judul yang mungkin cocok untuk referensi cerita yang hendak kukarang.
“Apa” mataku membelalak ketika membaca judul buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karangan Salim A Fillah.
“Kok bisa?” tanyaku heran. Pelangi Akhwat dan Ukhty, Hatimu jendela Dunia karya Yoli Hemdi menyita perhatianku selanjutnya. Matahari mulai renta ketika ketiga buku itu berhasil kuselesaikan dengan baik. Namun hausku belum hilang sampai disana, Bidadari Senja milik Sakti Wibowo jadi pelampiasan rasa penasaranku yang makin detik kian bertambah. Matahari telah renta ketika cerpen Panggil Aku mujahid selesai kubaca, bulir-bulir bening dari mataku menjelajahi kulit wajah dan bermuara di buku itu, mataku mengerjap.
“Kenapa baru sekarang aku membacanya?” keluhku. Aku berpindah ke depan monitor komputer, kali ini aku terpaksa menggunakan kesepuluh jariku untuk menulis karena kertas yang biasa kupakai itu telah bertumpuk di sudut ruangan berbentuk bola tak beraturan.
“Mitri,” kata pertamaku di monitor.
“Maafkan aku karena belum mampu merubahmu jadi sosok yang kau inginkan, dunia itu begitu indah untuk cepat kumengerti, izinkan saja aku melangkah duluan menjejaki setiap jengkal keagungan-Nya agar esok aku mampu mewujudkan inginmu. Paling tidak untuk hari ini, aku tak lagi menciptakan Mitri-Mitri lain dalam khayalan yang menyesatkan. Sekali lagi maafkan aku, dan terima kasih kau telah menyadarkanku bahwa keindahan dzikir melebihi sebuah khayalan, ya..sebuah khayalan.