L

Header Ads
Tiny Star

Hati perempuan laksana danau

kau tak akan tahu isinya kalau hanya sekadar mendayung perahu dipermukaan

Perjalanan...

Bersamamu ternyata jalan ini lebih indah, meski kadang tak mudah

Ketika kau bertanya apa warna yang kusuka

ketahuilah, bahwa aku suka sekali warna langit ketika matahari hendak bersembunyi

Indah?

...dan surga jauh lebih Indah

Menurutmu mana yang lebih kuat antara karang atau ombak?

Bagiku Ombak lebih kuat sebab meski tahu akan pecah tetapi dia tetap memenuhi janji pada pantai

serenade untuk saudaraku

27 Agustus 2007
Selamat malam dy, hari ini adalah kali pertama sodaraku jadi mahasiswa, kira-kira gimana ya rasanya menjadi seorang mahasiswa, pasti seru ya dy? Hhmm…pengen deh bersaing nilai lagi ma dio, kaya dulu itu lho dy,,, dio nangis-nangis ketika tahu bahwa nilainya cuma beda tipis dibanding nilaiku,,he..he.
Oya, tadi aku nerima laporan dari dio, kabarnya sih rambutnya harus dipotong pendek, lebih tepatnya,,gundul bin botak…! Tadi dio juga cerita bahwa hari ini dia dijemur diterik padang, udah segosong apa dio sekarang? Maga-moga aja hitamnya melebihi warnaku supaya aku nggak diledek si ‘aling’ lagi.
Sebenarnya aku sedih dy, nggak bisa ketemu ma dio tiap hari, nggak bisa ngerjain dio dan yang terpenting, nggak ada lagi yang ngelarang aku untuk manjat pohon jambu didepan rumah. Aku nggak habis pikir, kenapa aku yang diberi penyakit ini, kenapa nggak orang yang memang dasarnya malas aja yang disuruh istirahat penuh seperti aku sekarang? Ah..aku nggak boleh ngeluh karena dio pernah bilang bahwa Allah itu nggak suka ma orang yang banyak ngeluh, Allah lebih nggak suka lagi kalau kita protes ma takdirnya..ya kan dy?
28 Agustus 2007
Seperti hari-hari biasa, lima butir obat harus kutelan berdasarkan jam makan, maksudnya tiga kali sehari, tapi Alhamdulillah nggak berdasarkan waktu shalat. Hari ini, Dio telat ngasih laporan, mungkin karena capek mengikuti pkmb itu. Tapi nggak apa-apa dy, yang penting dio masih ingat denganku, setidaknya mengingatkan bahwa obat yang ‘manis’ ini harus dihabiskan. Moga aja asa bunda yang disematkan pada semangat dio nggak menguap karena terik padang dan semoga aku masih mampu menyemangatinya walau tidak dengan tandingan nilai seperti yang selama ini terjadi.
3 september 2007
Aku benar-benat muak untuk meminum obat ini dy, kalau bukan karena keinginan untuk melihat dio memakai toga, sudah dari kemarin obat ini kubuang. Senin ini adalah hari pertama dio kuliah, seperti apa ya rasanya belajar tanpa seragam? Duduk nggak diatur dan dianggap sebagai orang dewasa? Meski bukan aku yang ada disana namun aku udah bahagia karena ada dio yang menampung setiap bulir ilmu yang mengalir dari pendidik disana.
16 September 2007
Selamat berbuka puasa, udah dua hari dio nggak ngasih kabar, sesibuk itukah jadi seorang mahasiswa hingga aku yang dulu berbagi rahim dengannya dapat begitu saja terlupa. Ini tanggal pertama kami menangis 18 tahun yang lalu, kemudian kucoba mengeja setiap wujud cinta-Nya meski dengan air mata, dengan obat yang tak kunjung bereaksi, dan dengan tulus cinta bunda serta doa untuk almh ayah. Eh..lupa dy, dengan dio juga tentunya.
Aku nggak mau ngucapin selamat ualng tahun duluan karena memang aku yang lebih besar, logikanya aja dy, udah pasti aku yang duluan lahir dan Alhamdulillah selamat, makanya aku yang harus diucapin selamat duluan,,he..he, egois ya dy?
19 desember 2007
Sampai hari ini dimulai dy, tak ada ucapan apa-apa dari dio, kali ini aku memang harus menyadarkannya bahwa dia masih punya saudara yang lahir pada tanggal yang sama. Pun udah tiga hari ini dio nggak ngasih kabar padaku, apalagi pada bunda…! Ada apa sebenarnya dengan kata aktivis, adakah kata itu mampu mengikis rasa rindu pada seorang ibu? Atau mungkin ada alasan lain yang membuatnya melupakan kami? Kuharap Tanya terakhir lebih tepat untuk dio karena akupun nggak mau berlaku nggak adil pada kata aktivis. Sore ini kulihat rindu penuh sendu diwajah bunda meski kuyakin bunda telah berusaha menyembunyikannya.
12 Oktober 2007
Takbir berkumandang melepas ramadhan tahun ini, ingin rasanya setiap hari mendengar puji-pujian untuk sang Maha Terpuji karena semesta seolah bersenandung bahagia melihat islam berjaya. Coba pikir, kapan lagi kita mendengar seruan takbir bersahut-sahutan dari satu mesjid kemesjid lain, kapan lagi kita melihat kanak begitu bahagia berlarian dihalaman rumah menunggu tabuh dipalu melewati mereka.
Aku ikut melongokkan wajah kearah jalan, bukan hendak melihat arak-arakan tapi menunggu saudara yang telah seminggu ini menghilang tanpa kabar, dan bahkan untuk melepas ramadhan saja dia tak ada.
13 Oktober 2007
Syawal telah beberapa jam menemani namun pagi ini dia begitu cerah membias disetiap wajah yang kujumpai. kata bunda, semalam dio pulang larut malam sehingga tidak tega untuk mengganggu tidurku. Coba tebak dy, seperti apa dio sekarang? Apa terik padang telah mampu menyamakan warna kami?.
“assalamu’alaikum ling, bangun woe..!” sapanya dibalik pintu kamarku, tanpa kuduga, sesosok lelaki asing, tirus, kurus dan pucat tersenyum kepadaku ketika pintu kamar kubuka, aku nyaris tak mengenalinya lagi jika suaranya bukan yang biasa kudengar, “Dio?” gumamku ragu, dia kembali tersenyum, kali ini lebih purna.
16 Oktober 2007
Siang ini dio kembali ke padang, melanjutkan jihadnya dengan ilmu. Akupun kembali sibuk dengan tulisanku karena hanya lewat kata aku bisa manyapa dunia dan menyadarkannya bahwa aku masih ada.
Dio benar-benar berbeda dengan ketika pertama kali pergi, aku tak perlu lagi segelas air untuk membangunkannya subuh sebab sekarang dia telah mendahuluiku menemui-Nya. Akupun tak lagi harus berteriak untuk mengurangi volume tipe karena kini dia lebih sibuk dengan lembaran-lembaran surat cinta-Nya. Namun, dio-ku tak segagah dulu, celana dasar dengan kemeja lebih sering menutupi tubuhnya yang kulihat semakin kurus, dia tak lagi secerewet dulu, tak lagi secengeng dulu dan yang terpenting, tak seiseng dulu. Kini dio jarang memanggilku aling padahal aku suka itu, katanya kita nggak boleh panggil memanggil dengan gelar yang buruk, waktu itu dio ngejelasin disertai dalil-dalil. Ah..makin hari aku makin salut aja ama kembaranku itu, namun tidak untuk kealpaannya pada kami.
16 november 2007
Hari ini hujan turun lebat dy, selebat tanya yang mengusikku setiap hari. Dalam satu bulan ini, cuma sekali dio mengirimiku kabar, itupun karena aku yang bertanya duluan. Kemana kembaranku yang dulu dy? Adakah masih dia mengingatku?
16 juni 2008
Kabarnya hari ini dio ujian dy, semoga hasilnya memuaskan ya. Aku nggak mau melihat mata bunda tiba-tiba redup mendapati lembar hasil semesternya. Sejak awal semester, dio nggak pernah pulang dy, dia makin sibuk dengan aktivitasnya dikampus, sedikit bangga sih ketika tahu bahwa dia dipercaya diberbagai organisasi tapi lebih banyak sedihnya dy karena dia tak lagi sempat menyapaku walau dengan sapaan salam yang selama ini makin sering kudengar dari mulutnya.
Aku masih seperti dulu, lima belas obat harus kutelan setiap hari tanpa hasil.
28 juni 2008
Seharusnya dio sudah sampai dirumah dy karena ujian telah selesai tapi apa kamu tahu jawaban yang kuterima ketika bertanya kapan dia sampai dirumah? “Afwan na, mungkin aku nggak bisa langsung pulang, ada banyak agenda untuk persiapan penyambutan mahasiswa baru dikampus, acara yang diangkatkan oleh forum silaturahim juga udah semakin dekat, aku diamanahkan sebagai ketua pelaksana. Jadi, tolong juga sampaikan maafku untuk bunda ya”. Sebenarnya aku ingin menyampaikan bahwa sudah beberapa hari ini bunda sakit, itu sebabnya aku menghubunginya. Apa diksi yang harus kugunakan untuk menjelaskan pada bunda bahwa putranya tak bisa hadir lagi kali ini, tapi yang pasti tidak dengan bahasa air mata tentunya.
01 Februari 2009
Aku sudah sangat hafal dengan kata-kata penolakan yang disampaikannya ketika disuruh pulang, jika bukan tentang agenda acara, pasti tentang rapat, seminar, kepanitiaan, dan tak pernah tentang kuliah. Aku muak dy…! Haruskah aku kepadang untuk menemui adik yang tak lagi kukenali itu? Haruskah juga bunda tahu bahwa indeks prestasinya pada semester tiga ini cuma 0.25..! apakah itu sebuah nilai dy? Bagiku tidak, itu bukan sebuah nilai yang boleh dipersembahkan untuk bunda, seorang perempuan yang teramat tegar mengasuh kami sendiri sejak berumur empat tahun, sosok perempuan yang selalu punya kedamaian ketika dua anaknya mengadu, sosok ibu yang tak pernah membentak walau mungkin kami pantas untuk itu.
Sepertinya aku memang harus menyusulmu kesana dek..! tumpahkan semua beban yang selama ini hanya mengalir lewat tulisan.
17 maret 2009
Dio, sebagai apa aku kini dihatimu? Sebagai kakak, saudara atau cuma seorang perempuan yang telah 19 tahun kau kenali? Apa belum cukup semua keluhku dulu untuk menyadarkanmu bahwa bunda menitipkan harapnya dipundakmu? Apa masih harus kuucap bahwa delapan organisasi yang mencatat namamu sebagai pengurus itu masih belum apa-apa ketimbang ribuan bahkan jutaan doa bunda untukmu agar mudah menunaikan amanah pertama ketika dinyatakan tercatat sebagai mahasiswa?
Aku selalu menghargai setiap usahamu untuk bermanfaat bagi orang lain tapi bukan berarti aku juga mendukungmu melupakan kami. Kuharap ini kali terakhirku mengingatkan agar air mata bunda tidak lagi menetes untukmu, kutitip bunda pada-Nya dan tolong juga kamu jaga.
Hari ini dy, harapku melihat dio memakai toga telah pupus karena aku mungkin tak mampu menunggu lebih lama, telah sebulan aku berhenti meminum obat, bukan bermaksud berhenti berusaha untuk sembuh tapi aku telah lelah dy, teramat lelah.

daurah hijab


11 april 2009
Aku membuka mata dengan malas, rasanya saat ini bukan lagi waktu yang tepat untuk menerima layanan dari salah satu satelit untuk menyampaikan sebuah sms. Tapi tak guna aku merutuk karena pesan singkat itu membuatku tersenyum geli, sebuah undangan untuk menghadiri kegiatan yang rasanya baru kali ini kudengar selama menjadi mahasisiwa di fakultas merah jambu. Daurah Hijab gumamku sembari mengingat kembali potongan-potongan cerita dari beberapa orang saudara yang terusik dengan tingkah si fulan yang mulai tebar pesona, Astaghfirullah ucapku berkali-kali, menyadari bahwa akupun sebenarnya tidak lagi terhijabi walau tetap memakai penutup –bukan pembungkus-
“fra, aku punya cerita untuk ukhti” sebuah senyum nakal tersirat dari wajah saudariku “Ghibah nggak?” “tenang, ini cerita asli tanpa rekayasa” ucapnya mencoba melakukan pembenaran “tujuannya?” terlihat ia berfikir sejenak dan kemudian kembali tersenyum, namun kali ini aku tak dapat mengartikan senyum itu.
“gini lho fra, ngomongin orang itu kan boleh-boleh aja asal bermaksud untuk membantu orang tersebut…” walau kalimatnya belum usai namun aku telah mengerti kemana arah pembicaraan, “masih tentang si fulan?” potongku cepat “yaph” kembali senyumnya mengambang, kali ini lebih sempurna.
“tadi itu aku kan lagi sibuk baca buku sistem informasi akuntansi (SIA) yang sampai sekarang masih harus dibayangkan gimana sebuah data base itu…” “kembali ketopik awal” potongku lagi “Ee iya, sedang asyik ngebayangin SIA tiba-tiba si fulan lewat dan negur aku sambil senyum-senyum. Heran nggak tuh?” aku membiarkannya meneruskan cerita “biasanya diakan ngejaga hijab banget fra..!” lanjutnya dengan intonasi protes. Aku bergeming, bukan kali ini saja aku mendengar kabar tentang si fulan. Berkali-kali sohibku bercerita tentang perubahan itu tapi siapa aku? Apa dayaku mengingatkannya padahal ia punya saudara yang lebih pantas menasehatinya? Pun bukan sesuatu yang bisa dibenarkan jika aku terlalu jauh masuk dalam urusannya. Jika harus berbicara tentang benar dan salah, pembicaraanku dengan sohib-sohibku ini mungkin telah termasuk dalam ketegori sebuah kesalahan karena kami memperbincangkan tentang aib seorang saudara seiman terlepas dari niat yang dipaksakan untuk benar.
Fhuih..aku menghembuskan nafas berat, baru saja sepotong memori terbuka dikepalaku tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Kantuk yang tadi masih bertengger dimataku entah telah pergi kemana, kusegerakan menyibak selimut untuk menemui-Nya, adukan segala gundah tentang nasib pejuang-Nya.
12 April 2009.
Padang yang terik tidak mampu menguapkan rasa penasaranku untuk tahu seberapa jauh interaksi itu dibenarkan, juga ingin tahu bagaimana keadaan saudara yang lain menyangkut penjagaan hijab mereka, adakah aku masih beriringan atau jauh tertinggal dan tak mampu mengejar.
Berbekal rasa ingin tahu itu, tepat pukul 13:30 aku sampai tempat acara dan disambut dengan tatapan teduh para saudari.
Acara berlangsung seru, teramat seru malah karena pemateri mampu menendang dengan kuat, memukul serta mencubit kesadaranku bahwa selama ini aku tidak kenal dengan idolaku sendiri, akupun tidak tahu –lebih tepatnya, tidak ingin tahu- bagaimana harusnya bergaul dan bersikap padahal buku ‘gombal warning’ yang ditawarkan oleh pemateri untuk dibaca itu telah kulumat dan kukunyah-kunyah hingga dua kali.
Selama diskusi berlangsung, selama itu pula wajahku bersemu merah karena rasanya panitia menggelar acara ini terkhusus untukku. Terlalu berlebihan memang jika berujar seperti itu tapi rasanya asumsiku itu tidak salah, sebagian besar pembahasan pernah kukerjakan, sebagian lagi hanya sampai angan-angan. Seharusnya sohibku hadir disini agar mereka tahu betapa indahnya terhijabi itu, agar aku tak lagi harus menjelaskan bahwa kupu-kupu itu indah karena mau menjadi kepompong terlebih dahulu. Sesi diskusi kulewati dengan malu-malu, dua pertanyan sempat kulontarkan dan ditanggapi dengan jawaban yang memuaskan.
Hm…baiklah, aku harus mencoba dan semoga tidak sebatas niat tentunya.
22:25
Aku masih berkutat dengan angka-angka yang harus kususun untuk mengetahui berapa rasio yang dimiliki oleh suatu perusahaan terkait dengan kinerjanya selama satu periode ketika sebuah pesan mendarat dihp-ku, isinya kurang lebih sama dengan pesan yang hampir tiap malam kuterima, sebuah tausiyah dengan niat bercabang. Aku tersenyum puas karena Dia langsung memberiku kesempatan untuk membuktikan Azzam yang kuukir siang tadi. Balasan singkat yang telak langsung kukirim bahwa aku tak ingin lagi semua seperti biasa, ada batasan yang harus kujaga dan tentunya harus dihormatinya. Senyumku mengambang ketika pesan itu dilaporkan terkirim, aku tak butuh perhatian bercabang karena kutahu Dia maha perhatian, aku tak ingin ada virus sewarna dengan fakultasku menyebar lewat suaraku –walau aku tak yakin suaraku mampu-. Kututup hari ini dengan niat semoga niat tadi siang tidak tertutuup.
13 april 2009
Berucap basmalah dan syukur, kumulai hari ini dengan semangat. Sohibku telah menanti kisah yang harus mereka tahu. “fra, hari ini ada yang harus ukhti tahu” baru saja aku bermaksud untuk bercerita ternyata mereka telah duluan menyiapkan kisah entah dengan judul apa untukku “ada perubahan besar pagi ini” “Presiden kita diganti?” tebakku sekenanya hingga wajah riangnya berganti rupa “lebih dari itu..” sebuah suara mendramatisir terdengar jelas dibelakangku, entah sejak kapan dia berada disana “ujian tengah semester SIA diundur hingga tahun depan?” dua wajah riang telah berhasil kutaklukan “serius Fra..!” koor panjang mereka menyita perhatian warga kelas, “ini tentang si fulan lagi” bisiknya yang lebih tepat disebut teriakan karena aku yakin bahwa semua telinga dikelas ini mampu mendengarnya. “tadi itu dia kehilangan uang fra..” si sohib menggantung ucapannya, “tau kenapa aku berasumsi seperti itu?” terlihat jelas ia ingin melihat rasa penasaran mengambang diwajahku. Mungkin aku tau kemana arah pembicaraan, “ukhti, dia itu bukan lagi nyari receh apalagi mandangin ujung sepatu barunya” mereka terlihat penasaran dan kurasa ini saat yang tepat “kemarin ada daurah hijab, rugi kalau nggak datang karena pembicaranya orang-orang hebat” terpaksa kujual nama salah seorang pemateri agar mereka tetap bertahan mendengar ceritaku “tentang menjaga pandangan, bagaimana pergaulan syar’I dan poin penting yang harus benar-benar dijaga adalah hati” kuperhatikan mimik wajah mereka dan kutelan sedikit rasa pahit ketika tahu ekspresi mereka datar-datar saja. “mungkin saja si fulan kemarin datang daurah” pancingku kemudian. “hm..bisa jadi karena pagi ini dia langsung berubah ukht, memangnya harus seperti itu ya?” aku tak mampu menyembunyikan senyum yang ambigu, disatu sisi aku bahagia mereka mulai tertarik namun disisi lain aku kecewa, mengapa harus dengan penyertaan si fulan kisah ini mereka terima.
Setiap kisah memang memerlukan seorang tokoh sebagai pemain tapi aku tak berharap si fulan yang jadi aktornya karena tentu saja itu akan mencemari nilai sebuah batasan yang ingin kusampaikan. Ketika aku hendak menyampaikan batasan gerak mata dan hati, haruskah sifulan juga yang jadi pemainnya? Ketika aku berkisah tentang suara dan virus merah jambu, masihkah si fulan yang jadi pemainnya?
Fhuih…kembali malam ini aku menghembuskan nafas berat. Memang tak mudah berbagi nasihat, selalu saja setan itu mampu mencari celah dari setiap potong kisah yang kubagi. Tapi dengarlah setan, aku tak akan pernah menyerah karena tuhanku telah bersumpah dengan massa. Aku tak boleh jadi manusia merugi karena aku tak ingin bersamamu dalam penjagaan malaikat malik.
22:30
Tekadku memang telah bulat untuk jadi barang dengan permintaan yang tinggi dipasar karena semakin langka suatu komoditi maka harga jual dari komoditi tersebut sudah pasti lebih mahal selama bermutu bagus tentunya. Atau dalam kalimat lain, jika makhluk tersebut bermutu bagus dan terasing (ghuraba) maka tingkat permintaan syurga terhadap makhluk tersebut akan meningkat.
Senyumku mengambang seiring dengan teori ekonomi yang kupaksakan untuk menjelaskan keberadaan makhluk-makhluk ghuraba yang dicemburui para sahabat. Namun senyum itu tak lama karena pada jam yang sama seperti malam-malam yang lalu, sebuah pesan singkat berlabuh dihp-ku
Aslm.
Selamati istirahat saudariku ini dengan kemuliaan-Mu
Hapuskan segala kesusahan dihatinya
Bangunkan ia kala tahajud-Mu tiba
Rahmati ia kala subuh-Mu datang menyapa
Agar tiap langkahnya selalu dalam cahaya.
Wahai Dzat yang maha bijaksana, aku tak ingin mengeluh tapi kumohon selamatkan hatiku darinya, juga lindungi hatinya dariku. Izinkan ini jadi pesan terakhirnya dengan banyak cabang warna untukku. Sungguh aku hanya ingin cinta-Mu dan cinta karena-Mu.