L

Header Ads
Tiny Star

Hati perempuan laksana danau

kau tak akan tahu isinya kalau hanya sekadar mendayung perahu dipermukaan

Perjalanan...

Bersamamu ternyata jalan ini lebih indah, meski kadang tak mudah

Ketika kau bertanya apa warna yang kusuka

ketahuilah, bahwa aku suka sekali warna langit ketika matahari hendak bersembunyi

Indah?

...dan surga jauh lebih Indah

Menurutmu mana yang lebih kuat antara karang atau ombak?

Bagiku Ombak lebih kuat sebab meski tahu akan pecah tetapi dia tetap memenuhi janji pada pantai

Kamu Istimewa




Aku melihatmu lagi malam ini.. disudut yang kuyakin tidak (dan tidak akan) pernah kamu tahu. Kamu istimewa (setidaknya saat ini) dihatiku, mendapatimu dalam keceriaan membuat senyumku (yang sempat hilang) mengembang sempurna.




Entahlah.. sudah kudikte perasaan ini agar menempatkanmu dalam ruang tamu, ruang untuk mereka yang hanya berkunjung sejenak dan kemudian pergi tanpa meninggalkan rasa kehilangan. Aku tahu perasaanku tidak pernah membantah, jadi ditempatkannya kamu diruang itu namun tepat disebelah bunga sudut ruangan, sehingga setiap kali aku menghampiri bunga itu.. kudapati kamu tengah memandangku.






Kamu istimewa (setidaknya saat ini) dihatiku. Jadi biarkan aku menikmati indah-Nya padamu dari sisi gelap ini.. berharap kamu tidak (dan tidak akan) pernah tahu
 

Bolehkah laki-laki menangis??

Aku ingin menangis.. tapi bolehkah laki-laki menangis??

“boleh saja..bukankah airmata bukan mutlak punya perempuan” jawab kawanku dulu, ketika itu kami melihat teman kelas menangis sesegukan hanya karena nilai ujian. “tidak.. tidak boleh..!” ujarku berapi, “laki-laki tidak boleh menangis” lanjutku kemudian. Kawanku menatap heran “kalau begitu, mengapa laki-laki tetap dianugerahi air mata?”, aku tersenyum sombong. “itu bukan anugerah kawan..! itu hanyalah suatu pelengkap, atau boleh dibilang sebagai pilihan terakhir”, kawanku terkekeh “kau terlalu sombong.. suatu saat nanti kau akan merasakannya, merasakan bahwa tangisan itu bukan mutlak punya perempuan, dan jika saat itu tiba.. ingatlah hari ini, hari dimana kau melarangnya” aku mendengus kesal. “masa itu tidak akan pernah tiba”.

Aku ingin menangis.. tapi bolehkah laki-laki menangis??

Aku terjatuh, siku dan lututku berdarah hanya karena kerikil nakal yang menghalangi jalanku, panik..aku takut melihat darah mengalir dari bagian luka, nyeri juga segera terasa ketika informasi itu diterima otak. Seketika aku berteriak dan menangis keras, tergopoh ibu menghampiri dan membangunkanku dari posisi telungkup diatas tanah “sht.. laki-laki tidak boleh menangis” ujar beliau mengobati luka-luka itu.

Aku ingin menangis.. tapi bolehkah laki-laki menangis??

Sebenarnya cuaca sore itu cerah tapi tidak dirumahku. Aku kecil mengintip nenek yang terbujur kaku ketika diturunkan dari ambulance, kemudian beliau dibujurkan diruang tengah. Rumahku perlahan ramai oleh tetangga dan kulihat dua tanteku terus menghapus airmata yang mengalir di pipi mereka, mata mereka telah bengkak sebab telah lama menangis. Aku berjalan keluar, kulihat ayah bercengkerama dengan beberapa orang tidak kukenal.. kuperhatikan wajahnya, ada sendu disana tapi tanpa air mata. Kudapati juga paman yang duduk disudut ruangan, membaca al-qur’an lamat-lamat dan kembali tidak kutemukan airmata diwajahnya padahal kuyakin, bungsu nenek tersebut lebih pantas menangis mengingat kedekatan mereka.

Aku ingin menangis..tapi bolehkah laki-laki menangis??

Sungguh..aku tidak sanggup lagi menahan airmata ini, meski aku percaya bahwa laki-laki tidak punya hak untuk menangis tapi nyatanya aku menangis.. sesegukan disudut kamar hanya karena perkara yang selama ini kuanggap bukan sebuah alasan untuk mengalirkan air mata. Perkara tolol bernama ‘perpisahan’ membuatku melewati sore ini dengan malu-malu. Bagaimana jika mereka tahu bahwa aku menangis? Bagaimana jika mereka menertawaiku? Apa kata ibu jika mendapati keadaanku sore ini? Masihkah beliau berkata “sht.. laki-laki tidak boleh menangis”? ah..aku benci berada diposisi ini, aku benci pernah berkata bahwa ‘laki-laki tidak boleh menangis’, bahwa ‘airmata itu bukan anugerah kawan..! itu hanyalah suatu pelengkap, atau boleh dibilang sebagai pilihan terakhir”.

Aku sudah menangis..terlepas dari boleh atau tidak!!

Dua Sisi

Setiap kisah selalu memilki dua sisi, aku yakin itu..

Sisi –

Menjelang dzuhur.. aku mandi dengan kecepatan penuh, sebab setelah shalat dzuhur dimushalla, aku nebeng ayah ke Bukittinggi. Hm…aku harus bergegas..!. tepat jam 13.00 aku sampai di Simpang Mandiangin, menunggu mobil jurusan Payakumbuh-Padang yang lewat disini, sebenarnya bisa saja langsung ke Aur tapi aku bisa memastikan disana sudah sangat ramai sebab besok adalah perkuliahan pertama semester genap di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Padang.

Panas..tak ada tempat berlindung..! lengang..yang ada hanya angkot bersileweran..! capek..tak ada tempat duduk..! waktu berjalan dan entah sudah berapa kali lampu lalu lintas berwarna merah, pun entah sudah berapa kali angkot yang sama lewat dihadapanku..! 

phufft,,,jam ditanganku menunjukkan jam 15.35 ketika sebuah Avanza menepi dan bertanya tujuanku. “padang” jawabku singkat antara lelah dan muak dengan debu jalanan. Ternyata mobil tersebut adalah travel liar (mobil tanpa izin mengangkut sewa), dan dengan terpaksa aku menaikinya (kesabaranku tidak cukup lagi untuk menunggu mobil yang biasa kutumpangi, kaki pun tidak akan kuat lagi menyangga tubuhku)
 Argh..aku bisa mati disini , diapit oleh tiga orang dengan tubuh  tambun, yang seringkali ‘menjatuhkan’ kepalanya dipundakku (tidurmu mendzalimiku..!) perjalanan terasa teramat sangat lama..! belum lagi macet di koto baru sebab pasar tumpah kejalan raya. Udara panas, jendela tidak bisa dibuka dan tanpa AC..! belum lengkapkah penderitaan ini?
18.20 sampai di Tabing dan kembali mobil tersebut menepi, dan tanpa merasa bersalah sang sopir berkata “padang sampai siko yo”.. arghh,,!!! Ternyata sial masih mengikutiku. Sebuah angkot kutumpangi menuju kos, dengan jendela yang nyaris terlalu rendah untuk melihat bangunan-bangunan yang dilewati membuatku menghentikan angkot (dan rasanya aku sudah sampai). Angkot berlalu dan aku melongo mengenali daerah.. “dimana ini..!!!” bentak batinku sendiri. Dan dengan lelah yang sangat kuseret langkah menuju arah kos.. kulewati empat tiang listrik dan itu berarti jaraknya sudah 200 meter. Maghrib sudah beberapa menit berlalu jadi kuputuskan melewati jalan pintas. Itu berarti aku melewati jalan lengang dan redup, ditambah lagi jalan ini tidak begitu kukenal. “owh..sial,, tolong menyingkirlah..!” gumamku sendiri.

Sisi +

Menjelang dzuhur.. aku mandi dengan kecepatan penuh (itung-itung belajar menghargai waktu), sebab setelah shalat dzuhur dimushalla, aku nebeng ayah ke Bukittinggi. Hm…aku harus bergegas..!. tepat jam 13.00 aku sampai di Simpang Mandiangin, menunggu mobil jurusan Payakumbuh-Padang yang lewat disini, sebenarnya bisa saja langsung ke Aur tapi aku bisa memastikan disana sudah sangat ramai sebab besok adalah perkuliahan pertama semester genap di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Padang.
Panas..tak ada tempat berlindung..! (hm..pasti saudi arabia lebih panas,,^^ beradaptasi mulai dari sekarang sebelum berangkat haji –yang entah kapan- he..he), lengang..yang ada hanya angkot bersileweran..! (phufft.. kasihan anak jalanan yang setiap hari melewati kondisi ini ) capek..tak ada tempat duduk..! (hm..aku lebih beruntung dari penjaja keliling, yang berjalan diterik siang sambil menawarkan dagangannya). waktu berjalan dan entah sudah berapa kali lampu lalu lintas berwarna merah (ini menyenangkan..! ternyata lampu merah lebih lama menyala ketimbang lampu hijau apalagi kuning; kesimpulannya..hukum itu lebih banyak melarang ketimbang membebaskan *he..he..maksa..!) pun entah sudah berapa kali angkot yang sama lewat dihadapanku..! (ternyata ingatanku masih tajam..alhamdulillah ya)

phufft,,,jam ditanganku menunjukkan jam 15.35 ketika sebuah Avanza menepi dan bertanya tujuanku. “padang” jawabku singkat. Ternyata mobil tersebut adalah travel liar (mobil tanpa izin mengangkut sewa), dan dengan terpaksa aku menaikinya (terpaksa: mengusir pikiran-pikiran jahat tentang kisah-kisah ‘aneh’ seputar travel liar)
 Argh..sempit.. bersyukur ukuran badanku tidak menyamai mereka.. kalau tidak..bisa jadi pepes ikan sesampai dipadang.. perjalanan terasa teramat sangat lama tapi menyenangkan..! tahu kenapa? Sebab disini aku belajar sabar, belajar maklum, dan belajar menghargai ukuran tubuhku sendiri.. he..he..
18.20 sampai di Tabing dan kembali mobil tersebut menepi, dan tanpa merasa bersalah sang sopir berkata “padang sampai siko yo”.. ha..ha..ini lucu,, apa Kau hendak mengujiku Tuhan? Hm..dengan izin-Mu,,aku termasuk orang-orang yang sabar. Sebuah angkot kutumpangi menuju kos, dengan jendela yang nyaris terlalu rendah untuk melihat bangunan-bangunan yang dilewati membuatku menghentikan angkot (dan rasanya aku sudah sampai). Angkot berlalu dan aku melongo mengenali daerah.. “dimana ini..!!!” (mengenaskan..aku malu pada diri sendiri, ini tahun kelima tapi aku masih belum mengenali kota ini). Dan dengan lelah yang sangat kuseret langkah menuju arah kos.. kulewati empat tiang listrik dan itu berarti jaraknya sudah 200 meter (cihuy..kapan lagi jalan-jalan malam sendirian dengan tampilan kumal ). Maghrib sudah beberapa menit berlalu jadi kuputuskan melewati jalan pintas. Itu berarti aku melewati jalan lengang dan redup, ditambah lagi jalan ini tidak begitu kukenal (mari menjalajah..!).

...

Galau? Huh..aku benci kata tidak jelas itu, sebuah nama penyakit menular yang menyerang siapa saja. (sejatinya tidak terkecuali aku)

Kau tahu…kutulis semua ini dalam bosan dan muak yang mengalir kental dalam darah. sebenarnya tidak penting orang lain tahu semua ini tapi toh aku menulisnya di blogku,,(yang kuyakin tak banyak pengunjung)
Sudah dari kemaren kuusir rasa menyebalkan itu, tapi dia bergeming. Juga sudah kucoba menganggapnya tak ada, namun dia makin mengambil tempat di neuronku.

Jika membahas sebab, maka aku tak punya kalimat yang pas untuk menjelaskan latar belakang semua ini. Jadi jangan berharap akan menemukan simpulan atau mengajukan saran.. percuma saja.

Yang pasti aku muak, aku lelah dan aku bosan.

Pada siapa? Entahlah.. pada semua orang mungkin (termasuk sosok yang kutemukan ketika melihat cermin)

Mengapa? Bukankah sudah kubilang aku tak mengetahuinya.

Lalu? Sudahlah.. aku bukan termasuk orang yang perlu diperhitungkan. Aku hanyalah orang yang dikenal ketika dibutuhkan, aku hanyalah orang disebut ketika diperlukan.

Hanya itu? Aku harus apa lagi..! jika selama ini aku terbiasa menggenggam tangan sendiri untuk meyakinkan bahwa aku masih kuat maka sekarang tanganku sudah lemah untuk bergerak.. mungkin butuh uluran tangan lain untuk mencoba bangkit tapi memang tak ada yang tulus kurasa (kalaupun ada.. kerap terlambat)