L

Header Ads
Tiny Star

Hati perempuan laksana danau

kau tak akan tahu isinya kalau hanya sekadar mendayung perahu dipermukaan

Perjalanan...

Bersamamu ternyata jalan ini lebih indah, meski kadang tak mudah

Ketika kau bertanya apa warna yang kusuka

ketahuilah, bahwa aku suka sekali warna langit ketika matahari hendak bersembunyi

Indah?

...dan surga jauh lebih Indah

Menurutmu mana yang lebih kuat antara karang atau ombak?

Bagiku Ombak lebih kuat sebab meski tahu akan pecah tetapi dia tetap memenuhi janji pada pantai

Aku gila kata mereka

Ah.. Mereka bilang aku gila. Hahahah,, tidak, tentu saja tidak.

Orang gila mana yang bangun sebelum subuh, memasak, mencuci, menjemur kain, dan beberes rumah sebelum semua anggota rumah
terjaga dari lelapnya. Kemudian mencuci piring ketika beberapa anggota rumah sudah sarapan dn berangkat kerja. Semua itu dilakukan sambil terus berjaga kalau2 anak2 terbangun dan mencariku. Anak Sulung ku berusia 3 tahun, yang kedua 1 tahun dan yang terakhir masih dalam kandungan berusia 5 bulan. Jika saja mereka mereka terbangun dan menangis, aku harus segera ke kamar.. Sebelum mertuaku datang dan mengomeliku tentang apa saja. Tidak jarang juga Ku gendong anak kedua sambil terus bekerja, sesekali manggendong anak pertama jika dia rewel ketika demam. Nah, orang gila mana yang manggendong dua anak dan terus memasak, menjemur kain, menyapu dan mengepel?

Setelah selesai mencuci piring sarapan, biasanya aku kembali sibuk didapur, membuatkan makanan untuk anak2ku.. Kemudian memandikan dan menyuapi mereka, lepas itu kembali aku harus merapikan barang2 yang tadi kupakai, mertuaku tak suka dapurnya berantakan.

Siang mulai terik ketika perutku terasa kram, kuletakkan anak kedua diatas kasur dan rebahan disampingnya.. Aku merasa sangat lelah,, tiba2 mertuaku datang, membawa anak Sulung yang tengah menangis dan terus mencubitnya, "anakmu menggunduli tanaman hias milikku, tak pandai kau mengajari anak..." Dan kalimat panjang lainnya tak berhasil kurekam sebab aku sudah sibuk menenangkan si sulung, tapi bukannya reda.. Malah anak keduaku ikut menangis melihat kakaknya. Telingaku bingung harus memilah antara kalimat mertua dan lengkingan tangis mereka, pun dengan perut yang masih kram.

Kini, dua bocahku sudah tenang, tak akan lagi merasakan cubitan.. Tamparan.. Dan bentakan..

Mereka sudah lelap, dan bahagia.

Aku juga tak harus lagi menjadi babu dari awal subuh hingga larut malam, menunggui suamiku yang sering pulang mabuk2an. Atau mendengar omelan mertuaku dan pandangan iba dari tetangga yang jarang kutemui dijalanan.

Aku sudah bahagia sekarang, manggendong anak ketigaku yang ajaibnya, tak pernah menangis, mengompol ataupun demam.

"bu, saatnya minum obat ya.." Seorang gadis manis nan wangi menghampiriku membawa nampan. Tersenyum sambil sesekali diikuti dua bocahku yang berlarian didekatnya.

Jiwa muda yang terjebak dalam tubuh renta

Seperti pagi biasa, mamak membuang sampah dalam tong depan rumah.

"Kenapa bu? Pagi2 udah pegang cangkul" sapa mamak.

"Ini, tanahnya hanyut gegara hujan semalam" jawab ibu tetangga sebelah.

"Iya, deras kali kan" imbuh tetangga depan rumah, sedang pegang sapu dan slang air.

Dan pembicaraan berlanjut kemana2 sampai ...

"Daun ubinya subur sekali" ibu tetangga memandang ke rumah kontrakan mamak.


"Iya bu, Alhamdulillah".

"Kita gitu kan, apa2 pengen nanam aja" imbuh yg lain.

"Iya, gak tahan lihat lahan kosong kan nov" mamak mengangguk, teringat lahan yang tidak kosong lagi di belakang rumah.

"Tapi masa berganti, yang muda2 sekarang mana ada yang suka nanam2 dan bersih2 halaman" ujar tetangga lain lagi.

"Iya, katanya kaum rebahan. Hahaha, yang begitu aja bangga" ini tetangga yang lain lagi.

Mamak speechless, berada diantara tetangga2 yang sudah sepuh, membicarakan mereka yang muda sambil mengingat-ingat masa ketika beliau2 masih punya anak kecil. Seketika mamak merasa sudah beruban, berusia lanjut ... Sekaligus merasa objek yang diperbincangkan. Jiwa muda yang terjebak dalam tubuh renta, eh.

Marah

Bundo baru saja memarahi dziya ketika hauna mendekat.

"Bundo" sapanya

"Apa?" Intonasi bundo masih tinggi

"Bundo marah?"

"Iya" masih nyolot

"Bundo, orang yang paling kuat itu, adalah orang yang mampu menahan marah"


Seketika bundo kehilangan kata, kehilangan marah dan gak tau harus ngapain.

170221

Petang, dalam perjalanan menuju rumah.

"Bundo, Hauna mau ulang tahun"

"Boleh, tapi kenapa mau diulang? Ada yg salah na?" Lekas Bundo menanggapi.

"Bukan tapi seperti teman2 itu Ndo, ada kuenya, ada lilinnya, ada kadonya" intonasinya menaik diakhir kalimat.

"Kue, lilin dan kado? Hauna kan sering Bundo kasih kado, kasih kejutan, Abi juga sering kasih. Hauna lupa?".

"Gak sih" dia berfikir sejenak.

"Maksud Hauna, seperti ulang tahun yang ada di film upin ipin itu, Ndo" lanjutnya kemudian.

"Oo".

"Kenapa kita gak pernah merayakan ulang tahun?" Gumamnya kemudian.

"Karena Rasulullah salallahu alaihi wasallam gak pernah sekalipun merayakan ulang tahun. Gak pernah!".

"Terus? Apa hubungannya dengan kita?" Respon Hauna cepat.

"Hubungannya ... Karena kita islam dan Rasulullah itu panutan kita, Rasulullah itu suri teladan kita, Rasulullah itu manusia
terbaik
yang patut kita contoh".

"Kawan Hauna yang islam merayakan ulang tahun. Apa gak boleh sekali aja Bundo".

"Nak, nanti Hauna akan tahu bahwa banyak persoalan dalam penerapan agama ini, sungguh sangat banyak. Tapi Bundo dan Abi setuju bahwa kita gak merayakan ulang tahun dalam bentuk apapun, maaf ya".

"Banyak persoalan? Ah ... Hauna pusing". Dia menjatuhkan diri ke arah dziya.

"Jadi kapan kita ulang tahun, Kakak?" Celetuk dziya.


"Dek, nabi kita salallahu, salallahu ... Apa bundo?"

Dan begitulah, Hauna kemudian menjelaskan pada adiknya dan ditanggapi huruf 'O' yang benar2 bulat. Terlepas dari mereka sudah paham atau belum, setidaknya Bundo sudah menjelaskan dan tak ada pertanyaan lanjutan dari mereka.

"Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Musim – Shahih)

220221

Perjalanan menuju sail.

"Adek, kemaren kakak dengar gini, 'berdosa kalau yang gak patuh sama orang tuanya, Allah gak suka. Nanti dimasukan ke neraka, dicelup trus diangkat lagi, celup lagi, angkat lagi' gitu dek," tutur Hauna ketika adiknya gak mau dikasih tau untuk pakai sabuk pengaman.

Seperti biasa Dziya cuek, pura2 gak dengar.

"Nanti kalo gak patuh sama orang tua, dibakar di neraka, panas apinya," lanjut hauna, sembari menunggu respon adiknya.

Dziya kasih cuek, sibuk menatap keluar jendela.

"Mau adek dibakar? Mau? Dicelup2 ke api yang panas." Hauna masih bergerilya, kali ini sambil mencolek pundak adiknya.

"Aku siyam apinya, wus ... wus ...." tetiba Dziya teriak, meradang kena colek.

"Ayok Bundo, pasang sabuk kapangan*," lanjutnya kemudian sambil duduk manis.

Hahahaha, indikator Dziya masih kecil itu salah satunya mau 'nyiram api neraka'.


*Sabuk pengaman
Entah kenapa Dziya sulit sekali melafalkan 'pengaman'.

230221

Usai menunaikan amanah.

"Bundo, Hauna digigit Dziya" rengek Hauna ketika melihatku menuruni tangga, sepertinya sudah cukup lama dia menunggu di lantai satu.

"Astaghfirullah ... Dziya" Gumamku melihat lengan Hauna yang mulai berwarna biru gelap.

"Sakit ya, Nak? Bundo tiup ya".

"Hah, ada apa?" Dziya berlari mendekat, wajahnya polosnya tampak penasaran.

"Lengan kakak sakit, Dziya gigit?".

"Iyayah" cepat dia menjawab.

"Kenapa, Nak?"

"Kakak papaye papaye" ujarnya dengan nada jengkel.

"Kakak ... " Bundo beralih menatap Hauna.

"Gak ada, kakak main-main aja" kilahnya.

"Boleh salah, tapi gak boleh bohong"

"Kakak papaye papaye" lagi, Dziya mengulang kalimatnya.

"Gak boyeh bohong, nanti yidahnya digunting, dijemu, digoyeng" ujar Dziya berapi-api.

"Benar kakak papale papale?" Hauna menunduk, senyum-senyum.

"Hauna tahu kan, Bundo dan Dziya gak suka kalau Hauna bilang 'tapi boong, papale papale' itu. Sungguh jengkel sekali Bundo". Senyum Hauna hilang sempurna.

"Boleh main, boleh bercanda ... Tapi gak boleh bohong. Rasulullah gitu, ketika bercanda pun gak pernah bohong".

"Maaf, Bundo" pelan sekali suara Hauna.

"Tuh, gak boyeh papaye papaye" Dziya merasa di atas angin.

"Adek juga, jangan gigit. Sakit sama Kakak. Adek mau Bundo gigit juga kalo berbuat salah?". Matanya berkedip-kedip.

"Layiiii" teriaknya menjauh dengan kaki kecil yang menggemaskan.


Kami gak punya Tiktok, tapi pergaulan dan lingkungan memperkenalkan Hauna pada banyak istilah-istilah itu.

Jalan Cinta Para Pejuang

Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan.
Meloncati rasa suka dan tidak suka.
Melampaui batas cinta dan benci.
Karena hikmah sejati tak selalu terungkap di awal pagi.
Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat.
Maka taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas.
Tapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita.
-Salim A. Fillah, Jalan Cinta Para Pejuang-

Taat? Duhai beratnya, tertatih-tatih dalam perih. Ya, sejatinya ini hanya tentang kebodohan diri dan rasa iri pada mereka yang lebih leluasa berbakti pada orang tua. Bakti? Lagi-lagi ini tentang kebodohan diri yang merasa 'bakti' berbenturan dengan 'taat'. Ah, bodohnya.

"Di jalan cinta para pejuang. Allah lebih tahu tantang kita", Allah lebih tahu tentang kita! Ya, sesederhana itu sebenarnya: Allah lebih tahu betapa pedihnya dan betapa bodohnya, Allah lebih tahu betapa bencinya dan betapa cintanya, Allah lebih tahu betapa taat itu demikian berat tapi hikmah memang tak akan datang di awal pagi. Mengapa? Karena di jalan cinta para pejuang, Allah ingin melihat kesungguhan berjuang, Allah ingin mendengar rintihan ketika tersayat keharusan taat.


Allah lebih tahu tentang kita! Maka taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas.

020321


Klinik Pratama SMC

"Bundo lihat!" Hauna semangat membuka mulutnya, memperlihatkan gigi seri bawah yang nyaris copot.

"Wah ... Sudah mau ganti giginya." Bundo tak kalah semangat, sekaligus ngeri melihat gigi yang goyah itu.

"Ayok kita cabut Bundo, kita letakkan di bawah bantal, nanti diambil peri gigi kemudian diganti sama hadiah," ujarnya berapi-api.

"Dongeng itu na, gak betul."

"Tapi Hauna suka dongeng itu." Matanya berbinar penuh harap.

---

"Coba Dokter lihat, mana gigi Hauna yang udah goyah," Rayunya pada Hauna. Segera Hauna membuka mulutnya, mendorong2 giginya dengan lidah.

"Oiya, udah mau copot ... Hauna tahu kalau gigi yang udah goyah itu takut sama yang dingin-dingin?" Hauna menggeleng cepat.

"Nanti Dokter kasih yang dingin-dingin, giginya loncat sendiri, mau?"

"Mau!" Seru Hauna semangat.

"Kalau gitu Hauna duduk di kursi itu ya, supaya kalau giginya loncat, bisa cepat Dokter tangkap." Segera Hauna beralih duduk.

"Hauna udah bisa berhitung?"

"Udah dokter," ujarnya sambil memperbaiki duduk.

"Wah ... Pintar Hauna. Kita hitung sampai sepuluh sama-sama ya, nanti giginya loncat waktu kita berhitung." Dokter segera beraksi menuang yang 'dingin-dingin' ke kapas dan menempelkannya ke gigi Hauna.

"Satu, dua, tiga ...." Gigi Hauna sudah 'loncat' pada hitungan ketiga, tapi dokter terus berhitung sambil menempelkan kapas pada lukanya.

---

"Kenapa Ibu gigi Hauna bisa copot, Bundo?" Lama Bundo berpikir apa maksud kalimat Hauna.

"Oh, karena tugasnya sudah berakhir, Na." Akhirnya Bundo tahu 'ibu gigi' yang dimaksud Hauna. Tante perawat tadi mengatakan tentang anak gigi yang sudah terlihat, otomatis Hauna berpikir bahwa yang mau copot itu adalah 'ibu' si anak.

"Ooo." Wajah Hauna penasaran.

"Setiap yang diciptakan Allah itu ada tugasnya dan ada masanya," terlihat Hauna menyimak dengan seksama.

"Ibu gigi misalnya, udah menemani Hauna selama lima tahun, udah membantu Hauna untuk minum susu dan makan ayam, hari ini tugasnya berakhir, sekaligus tanda bahwa Hauna sudah mulai besar. Sudah harus rajin Shalat, sudah harus rajin muraja'ah dan menghafal Al-Qur'an ya." Terlihat Hauna mengangguk sok paham, hahahhah.

"Nah, kalau tugas manusia apa?" Hauna terlihat berpikir, kemudian menggeleng.

"Menyembah Allah," lanjut Bundo.

"Bundo, mau es kim," potong Dziya.

"Gak boleh dek, gak boleh yang dingin-dingin. Tadi gigi kakak loncat karena takut sama yang dingin. Adek mau giginya loncat semua karena adek makan es krim, Mau ... Mau?"

"Gak mau yoncat, Dziya maunya es kim, kakak gak boyeh makan es kim ... Nanti giginya yoncat." Cuek saja dia menjawab, sesuka hati.


Mulai hari ini, tugas Bundo bertambah satu: memperhatikan pertumbuhan gigi Hauna, sebab kata Dokter, biasanya akan ada gigi lain yang menyusul tumbuh gak sampai sebulan, begitu terus hingga 8 gigi seri berganti.1

080421

Menjelang tidur.


"Bundo, pilih warna pink atau ungu," ujar Dziya tanpa mengalihkan matanya dari majalah Bobo.

"Ungu." Bundo yang duduk agak jauh sebenarnya tidak tahu apa yang dibicarakan Dziya.

"Oo, ungu gak ada, maaf ya." Intonasinya datar saja, tanpa unsur merasa bersalah untuk kata 'maaf', atau unsur bergurau untuk 'ungu gak ada' padahal sebelumnya dia menawarkan opsi itu.


"Hahahahhahaha," seketika tawa Hauna pecah, menertawakan kami berdua sepertinya.