Bagiku yang jadi ibu rumah tangga, tanggal tidak lagi menjadi sesuatu yang harus kuingat, pekerjaanku jauh lebih penting daripada bilangan yang berjejer rapi di kalender. Tapi aku ingat tanggal 12, selasa di januari. Setelah dua rakaat subuh, aku tertidur kembali, kelelahan menghadapi anakku yang rewel semalaman. Jam setengah delapan aku terbangun mendengar suara motor yang sangat kukenal, kudapati suamiku dipintu kamar ketika membuka mata.
“Bundo,
Hauna sudah tidur di ayunan, setelah mandi sepertinya dia mengantuk sekali,
jadi belum makan. Abi pergi kantor dulu, istirahat ya” ujar beliau yang sudah
rapi dan bersiap pergi. Lelahku menguap ketika syukur datang memeluk, nikmat
mana yang pantas kudustakan? aku yang seharusnya menyiapkan keperluannya
sebelum berangkat kerja, aku yang seharusnya menyiapkan sarapan pagi, aku yang
seharusnya.. Ah, Betapa seringnya aku lalai bersyukur untuk sosok lelaki yang
Engkau pilihkan untukku (atau aku yang Engkau pilihkan untuknya?). Lelaki yang
sering kali kurepotkan dengan hal-hal remeh, lelaki yang begitu sabar
menghadapi kecerewetan dan emosiku yang meletup-letup, bahkan hingga suatu kali
ketika mencuci piring berdua, sambil berseloroh beliau berkata “Abi kira Bundo
adalah sosok perempuan yang penyabar, anggun dan keibuan”.
Dan
aku langsung menimpali, sengit “Jadi Abi menyesal?”
Dan
nikmat mana yang pantas kudustakan?
“Kadang-kadang
Bundo penyabar, anggun dan keibuan kok Bi” ujarku pura-pura merajuk.
****
Kutulis
kisah ini disini, agar suatu hari nanti ketika kami sudah menua.. aku punya
jejak tentang seorang lelaki muda yang meminangku pada jarak ribuan kilometer.