L

Header Ads
Tiny Star

Sepotong Kisah Pernikahan*

“kreek..” hati-hati kubuka pintu rumah, walau sedikit berbunyi tapi sejauh ini anak-anakku tak pernah terbangun karenanya. Kututup kembali pintu dengan bunyi yang sama kemudian melangkah menuju kamar tidur, diatas kasur tipis kami terlihat dua jagoanku tengah tertidur meringkuk tanpa selimut. Kuteruskan langkah menuju dapur sederhana kami, nasi yang kumasak tadi sore masih utuh tertutup diatas meja, dan itu berarti mereka belum makan malam.

“bunda sudah pulang?” suara serak putra sulungku terdengar. 

“sudah..sini sayang” dia mendekat sambil mengusap mata. 

“kenapa belum makan malam?” tanyaku mendudukannya dipangkuan. 

“tadi adek nangis terus nda, dia gak mau makan”. 

“oya? Kenapa adek nangis?” lanjutku lagi, 

“gak tau..” dia menunduk. 

“ya udah..gak apa-apa. Abang makan dulu, bunda mau kekamar lihat adek”, 

“makan sama-sama aja nda, abang siapin meja ya” 

bergegas dia turun dan mengambil beberapa piring diatas rak, 

“abang gak capek?” tanyaku sambil tersenyum, 

“gak.. abang kan udah besar”, 

Kucium putra sulungku sebelum berlalu kedalam kamar.

Putra bungsuku berumur empat tahun, cerewet dan cadel. Pelan kudekati tapi ternyata dia terbangun. 

“bunda..” suaranya terdengar lemah. 

“eh..jagoan bunda udah bangun”, kudekap dia kepangkuan. 

“bunda kenapa pulangnya lama?”. 

“tadi bunda ada sedikit urusan, ma’af ya nak.. adek maukan ma’afin bunda?” dia cemberut, 

“besok-besok, bunda usahain cepat pulang deh”, dia masih cemberut. 

“ hm..besok bunda beliin permen” 

“walna-walni ya nda”, 

“siip..insyaAllah. tadi kenapa adek nangis?” dia merangkul leherku 

“ayah..” 

“bunda..udah siap, makan yuk” suara sulungku dari arah dapur memutus kalimatnya. 

“iya nak..” jawabku cepat. 

“ayah kenapa?” lanjutku lagi pada sibungsu, 

“ayah…” 

kalimatnya sekali lagi terputus ketika melihat sisulung berdiri diambang pintu. Ada apa dengan mereka? 

“ayo bunda” sisulung mengamit tanganku dan berjalan menuju dapur.

“bunda, abang makan sendiri ya” aku tersenyum. 

“gak disuapin?” godaku, 

“abang kan udah besar” jawabnya mengisi piring dengan nasi. 

“adek juga, adek juga” sibungsu mengambil piring dan menyodorkan pada abangnya, 

“adek juga makan sendiri?” tanyaku dan dia mengangguk. 

“bunda..abang gak jadi beli mobil-mobilan” bisik sibungsu ketika pertengahan makan, aku mengernyit..kenapa harus berbisik? sibungsu kembali pura-pura makan dengan serius ketika abangnya sesekali melirik. 

“tadi bunda lihat mobil-mobilan..” pancingku pada sisulung, dia diam dan melanjutkan makan. Ada apa ini?

**

Bungsuku sudah terlelap sedang sisulung pura-pura tidur. 

“abang udah tidur?” bisikku padanya, dia bergeming 

“padahal bunda punya tambahan untuk tabungan abang” ada lelehan air disudut matanya, 

“jagoan bunda kenapa?” tanyaku mengusap kepalanya, 

“abang gak punya tabungan lagi bunda”, aku menunggunya melanjutkan kalimat, 

“tadi ayah pulang..” aku mengangguk  

“ayah ngambil celengan abang” dia terisak dalam pelukanku. 

“minggu depan bunda ganti ya nak..” kuusap kepalanya dengan pelan 

“udah..jangan nangis lagi, nanti adek bangun. Oya..abang bilang apa sama adek sebelum bunda pulang?” dia menenggelamkan wajahnya dalam pangkuanku 

“abang bilang supaya adek jangan ngadu sama bunda” aku berusaha untuk tersenyum..

“sekarang abang janji sama bunda.. gak akan ada yang dirahasiakan.. sebab apapun itu, bunda gak akan marah” sulungku mengangguk sambi menyeka air matanya. 

“udah larut.. abang tidur ya” lanjutku lagi. Kuselimuti mereka sebelum membuka lembar jawaban siswa yang belum kuperiksa. Bagi sebagian orang, malam mungkin sudah setengah jalan tapi bagiku malam baru akan dimulai.

Jam dua dini hari, tuntas kuperiksa lembaran ulangan siswa, pun sudah kuinput nilai mereka dalam buku nilai. RPP dan media untuk besok juga sudah kusiapkan sebelumnya jadi aku bisa istirahat menjelang jam empat. 

“ayah.. jangan yah..” bungsuku berteriak sambil menangis 

“sstt…adek..” pelan kubangunkan dia, 

“bunda..” dia langsung merangkulku dan menangis terisak-isak 

“sht…mimpi apa sayang?”. 

“ayah ngambil celengan abang nda.. abang gak jadi beli mobil-mobilan” suaranya putus-putus disela isak. 

“udah..adek tenang aja, tabungan abang akan bunda ganti.. sekarang tidur lagi ya nak.. udah larut”. 

“adek takut..” pelukannya makin erat 

“adek takut apa?, kan ada bunda”, mata berkaca milik sibungsu menatapku lama, 

“jangan bilang abang ya bunda, adek gak ngadu..tapi adek sayang abang” aku tersenyum berusaha menahan haru, 

“adek benci ayah” aku terkesiap, 

“adek gak boleh bicara gitu.. ayah mungkin sedang butuh uang, jadi ayah pinjam uang milik abang”. 

“pokoknya adek benci ayah, adek benci ayah mukul bunda, adek benci ayah ngambil celengan abang” dia berteriak marah. 

“shht..bunda gak suka adek bicara seperti itu” aku menghela nafas berat, bungsuku mewarisi karakter keras milik ayahnya. 

“udah malam nak.. tidur ya, nanti tidur abang terganggu kalau adek teriak-teriak” dia melirik abangnya dan segera berbaring. 

“adek sayang bunda” aku tersenyum.. 

“bunda juga sayang adek” kukecup keningnya dan menyelimuti putra bungsuku.

Phufft.. hari yang berat bagi mereka. Suamiku sudah hampir sebulan tidak pulang, sebelum pergi meninggalkan kami, beliau sempat memukulku sebab tidak mau memberikan uang. Sebenarnya beliau lelaki baik, awal rumah tangga kami berjalan dengan lancar, tiga tahun beliau sabar menanti putra pertama kami yang lahir lima tahun lalu, beliau suami yang bisa diandalkan. Memang gajiku sebagai guru lebih besar dari penghasilan beliau tapi bagiku itu tidak masalah. Sebab semua penghasilan itu akhirnya tetap akan digabung untuk keluarga kami. Keadaan sedikit berubah ketika putra kedua kami lahir, beliau mulai tidak kukenali, pulang kerja larut malam dan sering membentak. Keadaan berlanjut hingga putra kedua kami berumur dua tahun, beliau dipecat sebab jarang masuk kerja dan beberapa sebab lain. Aku mulai mencari tambahan penghasilan dengan mengajar privat jam tujuh hingga jam sembilan malam dan itu berati waktuku dengan kedua putraku akan tersita. Awalnya semua lancar sebab suamiku mau menemani mereka ketika aku bekerja tapi tak lama sebab setahun belakangan beliau jarang pulang. Kalaupun pulang,, beliau hanya meminta uang padaku dan jika tidak kuberi maka itu berarti beberapa pukulan harus kuterima.

 “bukannya perempuan baik untuk laki-laki baik? Lalu kenapa kakak bersuamikan laki-laki seperti itu?” tanya adikku suatu kali, dia mendengar keadaan keluarga kami dari kalimat cadel milik sibungsu dan langsung meminta keterangan dariku. 

“ya..benar, laki-laki baik untuk perempuan yang baik pula” jawabku, 

“tapi jangan lupa. Ada sebentuk ketentuan berupa ujian yang berbeda untuk setiap kita”, kuperhatikan wajah tidak puas adikku. 

ujian itu dapat berupa harta, jiwa, kesehatan, keluarga, karier dan banyak lagi yang lain. Jadi sekarang kakak sedang diuji dalam bentuk keluarga.. ” adikku bergeming, 

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” Kubaca ayat 2 dan 3 dari surat Al Ankabuut. 

“kenapa kakak tidak minta cerai?” adikku ternyata masih belum terima, 

“cerai.. ? ketika nahkodamu kehilangan arah, sanggupkah kamu meminta pindah kelain kapal? Padahal ketika badai datang, beliaulah orang pertama yang berusaha menahan layar” aku menghela nafas. 

“kakak tidak tahu ini nikmat atau musibah, kakak hanya ingin berprasangkan baik pada Allah”. 

“tapi kak..dia mendzalimi kakak”, 


“kamu tahukan bahwa do’a orang yang didzalimi itu cepat diijabah oleh Allah. jadi biarkan kakak berdo’a untuk beliau,,biarkan kakak berdo’a agar beliau kembali seperti suami kakak delapan tahun yang lalu”. 

“ini tidak adil..!” aku tersenyum 

“mungkin ini yang paling adil menurut-Nya, mungkin Dia ingin memberi kakak kesempatan untuk membuktikan keimanan melalui ujian ini”. 

“tapi dia..”, 

“sudah ya.. kakak inginnya kamu menguatkan, bukan malah melemahkan” ujarku menggenggam tangannya. 

“tolong jangan beri tahu ayah dan ibu mengenai masalah ini”. 

Dia menggenggam tanganku lebih erat. “semoga kakak lulus ujian ini” dia menghela nafas

“namun jika dia bertindak lebih jauh dari semua yang pernah kudengar. Aku sendiri yang akan mengajarinya bagaimana cara menghargai perempuan”.


*jawaban untuk tupin..

0 Comments:

Posting Komentar