Aku sampai dirumah ketika dzuhur telah berlalu beberapa lama, segera
kuketuk pintu dan wajah itu terlihat, ah_ aku selalu rindu wajah ibu yang penuh
senyum menyambutku, kemudian muncul ayah dari ruang tengah dengan senyum yang
sama. Lelah karena perjalanan pulang kampung langsung menguap ketika tangan
mereka kucium takzim.
“sudah shalat?” pertanyaan pertama ayah setelah menyalamiku, aku
menggeleng dan bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu.. kuabaikan wajah
penasaran mereka, kenapa siang ini aku tiba-tiba muncul dibalik pintu sedang
tadi malam kukatakan bahwa aku akan pulang ketika idul adha nanti.
Setelah melipat mukena, kutemui mereka yang diruang tengah,
mengabarkan bahwa aku lulus tes pertama program Dikti, kepulangan kali ini
untuk menjemput ijazah sebab syarat untuk tes kedua harus menyertakan ijazah. Dan
tentu saja meminta pertimbangan mereka untuk melanjutkan tes ini terkait dengan
syarat yang harus dipenuhi, terkait juga dengan rencanaku ikut tes CPNS serta
rencana pernikahan.
Setelah ibu bertanya banyak hal, akhirnya ayah memberi saran beruntun mengenai
tiga perkara yang kusampaikan. Ah_ mereka bak kembar siam, tidak pernah kulihat
pendapat mereka bertentangan, pun pertanyaan-pertanyaan ibu adalah juga dasar
pertimbangan ayah untuk mengambil kesimpulan.
**
Maghrib menjelang, kudirikan 3 raka’at pada shaff dibelakang ayah. Ada
hal yang ingin kusampaikan setelah mempertimbangkan saran beliau tadi siang.
“nanti jika fitri menikah lalu
pergi jauh..” kalimatku menggantung, tidak tahu kemana pergi semua kata yang
kususun sejak siang.
“tidak apa nak, jangan cemaskan itu. Tidak ada tanggungjawabmu atas
kami, kami akan baik-baik saja” ujar ayah
Aku masih tak punya kata, menahan air mata.
“nanti setelah menikah.. berikan baktimu pada suami, selama semua hal
tidak bertentangan dengan syariat-Nya maka patuhi dia, sebab tidak mematuhinya
berarti menyakiti kami yang telah berusaha mendidikmu selama ini” lanjut ayah
lagi.
aku bergeming, satu kata saja mungkin akan merobohkan bendungan
dimataku.
“nanti ayah kabari jika ada apa-apa, demam sedikit saja ayah beri tahu.
Asal pulsa ayah tak pernah kosong, jadi tolong isi setiap bulan” kelakar beliau
mengenai pulsa membuatku berusaha tersenyum, meski sumbang.
“tidak ada yang perlu dirisaukan” tandas beliau.
“bagaimana persiapannya?” ibu mengusir hening yang bertandang.
“belum bu, belum apa-apa” jawabku cepat, kalimat seperti apa yang
dapat membuat mereka tidak terbebani dengan kabar bahwa mungkin keluarganya
tidak setuju dengan permintaan kami.

“dan tentang itu, ayah memang tidak bisa membantu banyak, fitri tahu
bagaimana keadaan kita” ujar ayah ketika aku mengangguk pelan.
“jangan cemaskan itu yah, biar fitri cari solusinya. Ayah tenang saja”
sebisa mungkin kuberi mereka senyum paling menentramkan yang kupunya, senyum
yang selama ini selalu kupelajari dari mereka.
“selalu ada solusi bahkan sebelum masalah itu ada, benarkan yah?”
sebisa mungkin suaraku terdengar riang, sungguh aku tidak ingin melihat mendung
menggelayuti wajah mereka sebab ketidakmampuan yang sedari awal sudah mereka
jelaskan.
“tenang saja..” ujarku ringan sesaat sebelum adzan isya berkumandang.
**

0 Comments:
Posting Komentar