L

Header Ads
Tiny Star

Merapi-Mahameru-Bromo

“Jangan ke mahameru” ujarnya datar

“baiklah, ke semeru saja” jawabku masih mencoba.

“sama saja” masih dengan intonasi  gak-boleh-ditawar

“hm.. bagaimana dengan merapi? Kan lebih ramah daripada singgalang?” aku langsung banting harga, jelas-jelas tidak akan dapat izin ke gunung tertinggi di pulau jawa tersebut.

“tidak”

aku nyaris tidak melihaat celah ‘iya’ dari topik ini, jadi dengan berat hati kubungkus lagi keinginan yang sejak lama kusimpan diam-diam, tapi kali ini bungkusan itu tidak untuk kusimpan, tapi untuk kumusnahkan, bagaimanapun caranya. Aku ingat dulu, ketika seragam baru berganti dari putih-merah,, seorang kawan kelas mengajakku kelereng merapi, sungguh_ tidak kepuncaknya. Hanya kelerengnya saja untuk melihat edelweis, dan saat itu aku tidak mengantongi izin. Seragamku berganti jadi putih-abu2, pun izin itu belum berhasil kukantongi ketika sekelompok kawan mengajak kepuncak merapi saat akhir tahun. Tidak berhenti sampai disana, aku masih mencoba membujuk kedua orang tua agar membolehkanku mendaki bersama teman-teman kuliah. Dan hasilnya masih sama.. aku tidak mendapatkan legalisasi untuk berangkat. Dan sejak saat itu, diam-diam kusimpan ingin dalam otak belakang, hanya muncul di alam bawah sadar, sembari masih berharap agar nanti, seseorang yang bertanggung jawab atasku memberi izin untuk pergi (bersamanya) kepuncak tertinggi dipulau jawa. #hadeh,, merapi ke mahameru

“tanggung jawabnya berat, banyak hal yang harus diperhatikan sebelum berangkat” katanya setelah aku terdiam cukup lama

“ya, tidak apa” entah seperti apa nada suaraku ketika mengucapkannya.

“apa kamu sangat ingin pergi?” tanyanya untuk pertama kali.

“iya,, jika diizinkan”

“bagaimana kalau ke bromo?”

Aku tersedak oleh nafasku sendiri, bromo? Lelucon macam apa yang sedang dimainkannya untuk menghiburku yang tengah mencincang ‘ingin’ itu. Apa dia tengah menjanjikan kaldera? Kawah eksotisnya? Atau pesona matahari terbit disana?

“bromo?” ulangku tak percaya

“iya, bromo.. insyaallah”

Ah.. aku selalu suka kata ‘insyaallah’, sebab lebih menjanjikan daripada sekadar kata ‘iya’, tapi anehnya aku tidak ingin lagi.. sungguh_ kali ini aku tidak ingin lagi melakukannya, mungkin aku sudah berhasil membunuh ‘ingin’ itu sebelum mengantongi izin untuk mewujudkannya.

Tapi terimakasih.

0 Comments:

Posting Komentar