L

Header Ads
Tiny Star

Biarlah Bulan jadi Mentariku (Part I)



siang ini cukup terik untuk ukuran awal bulan hujan, sejenak berdiri mematung didepan sebuah bangunan bertingkat yang tidak asing bagiku, “ayo” pelan suara ibu ketika mengamit tanganku, beliau berjalan tergesa ke loket karcis dan tak lama sebuah suara membaca namaku diiringi anggukan kepala ibu. Mereka tidak (akan lagi) kesulitan menemukan namaku sebagai pengunjung tetap disini.


“ayo” kembali ibu bersuara mengajakku ke ruang yang semua tempelan dindingnya  nyaris hapal bagiku “assalamu’alaikum” sapa ibu pada seorang gadis berbaju putih yang duduk didekat pintu “wa’alaikumsalam.. masuk bu, apa kabar zee?” ramah gadis itu menyapa. “alhamdulillah..” ucapku singkat diiringi senyum. “langsung masuk saja zee”  ujarnya menyilakan. Ah..aku selalu benci jika harus masuk kesana, keruangan cat putih berukuran 3x4 dan bertemu dengan orang yang sama berkali-kali, sebenarnya aku tak ada masalah dengan beliau, tapi aku (selalu) bermasalah dengan berita yang beliau sampaikan. “hari ini cerah?” suara beliau ketika aku menyibak kerai pembatas, “lumayan” jawabku setengah hati. “baiklah, bagaimana kuliahnya?” beliau masih (tetap) ramah, “baik” terdengar sedikit ketus tapi beliau malah tersenyum “dengan siapa kesini?” aku tak menjawab dan beliau memberi tahu gadis tadi untuk menyuruh ibu ikut bersamaku disini.

Setelah beramah tamah dengan ibu, ‘sesuatu’ yang kutunggu akhirnya terdengar juga, dengan hati-hati dan bahasa yang amat bijak serta terkesan menabahkan.. beliau menyampaikan hasil lab dari Jakarta yang dikirim minggu lalu. Aku ingin teriak tapi malah terisak, meski aku belum  kenal ‘jenis’ yang beliau sampaikan tapi aku rasa ‘hal itu’ adalah sesuatu yang mengerikan. Terlebih saat mendengar bahwa aku harus berada disini sampai batas waktu yang belum ditentukan.

“Ibu..” kalimatku terputus ketika menjumpai bulir bening menggaris wajah beliau “ya”kudapati senyum yang menenangkan, “apa zee harus disini?” tanyaku hati-hati sebab tak ingin ada garis selanjutnya diwajah beliau, “kenapa nak? Bukankah ibu juga disini bersama zee?” aku tahu beliau mencoba menahan bendungan air mata, “ya.. ada ibu disini” senyumku berusaha tulus.

**

Aku tak tahu lagi bagaimana teriknya siang bulan ini, pun aku tak mengenali titik hujan dari awan kelabu september, yang kutahu hanya jendela dengan tirai tinggi untuk menghalangi cahaya matahari, yang kutahu hanya selang-selang monitor terhubung dengan tubuhku, yang kutahu hanya delapan pil pahit yang harus kutelan tiga kali sehari, yang kutahu hanya satu persatu dari temanku diruang ini ‘pergi’ bersama airmata tertahan dari orang-orang yang menyayangi. Dan yang terakhir kutahu adalah.. semua yang terbaring disini tak pernah keluar ruangan dengan bernafas.

“ibu..”kucari mata teduh itu “zee ingin tinggal dirumah”. “disini saja nak, agar zee lekas sembuh” senyum yang selalu menentramkan. “dirumah saja bu,, zee suka dirumah”, beliau menghela nafas berat “zee janji tetap makan obat, zee juga janji untuk menghindari sinar matahari” kupegang tangan ibu “zee lebih suka dirawat ibu” ujarku mengakhiri kata. Beliau tak bersuara, hanya tersenyum dan melangkah pelan kekamar mandi, aku tahu bahwa tangis beliau pecah disana.

**

Kukuak pintu kamar yang sudah 37 hari kutinggalkan, ada kerinduan tersemat di gorden jendela, tempat kubiasa memandangi hujan dibulan-bulan berakhiran ‘ber’, tempat kubiasa melihat anak-anak MDA keluar dari kelasnya sambil berlari, tempat kubiasa berlama-lama dengan buku yang penuh coretan tanpa judulku. Kuedarkan pandangan sekeliling, kutemukan mushaf hijau lumut diatas meja, sudah lama tak kusapa dia, semenjak Dia memberiku gelar ODAPUS karena Systemic Lupus Erythematos dengan senang hati menginfeksi sistem dan organ tubuhku seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, ginjal, hati, jantung dan  otak (serta nyawaku..!), semenjak sinar matahari merupakan ‘musuh’ besarku, semenjak Dia memberiku ‘sesuatu’ yang belum diketahui obatnya, semenjak sel darah merahku dihancurkan oleh ‘sesuatu’ yang asing dalam tubuhku sendiri, semenjak aku ingin untuk tak melihat fajar selamanya.

Ah..tapi bagaimanapun_aku rindu Dia.. aku rindu saat Dia mengajarkanku buah manis kesabaran, aku rindu saat Dia mengajarkanku indahnya kemudahan setelah memberiku pahit kesulitan. Kusentuh mushaf itu dan kutemukan debu disana, apa sekarang Engkau marah? (seperti marahnya aku pada-Mu?) apa sekarang Engkau kecewa? (seperti kecewanya aku pada-Mu?) apa sekarang Engkau juga meninggalkanku?(seperti aku yang telah meninggalkan-Mu?).

Sudahlah..aku tak ingin ada Engkau hari ini..!!!

**

Mendekati subuh, aku masih sempat melirik Doraemon yang berjingkat setiap detik mengelilingi rotasi yang tertutup oleh loncengnya, sunyi mendekap malam dalam hangat pekat dan tiba-tiba semua gelap, awalnya kupikir pemadaman listrik tapi suara radio dari kamar sebelah masih terdengar jelas, segera kupanggil ibu tapi suaraku tercekat, berusaha kuberanjak menggapai pintu kamar yang seingatku berada sebelah kanan dari tempat tidur tapi sia-sia, aku tak bisa menggerakkan satu jaripun, dingin mulai mengambil tempat diujung jari kakiku, perlahan naik ke lutut dan berdiam diri hingga gigil mulai memeluk sendiku, pelan beranjak menuju dada sembari meninggalkan beku ditulang dan itu sakit, sangat sakit. “Allah” bisikku “jika ini adalah saat dimana Engkau hendak memanggilku maka tolong kabulkan pinta terakhir, izinkan aku sejenak membahagiakan ibu”, degub jantungku terdengar lantang berpacu dengan isak tertahan milik ibu yang entah sejak kapan telah berada dikamarku “nak..” suara ibu lirih. “hingga saat ini aku masih percaya bahwa Engkau Maha Mendengar wahai Dzat yang lebih dekat dari urat leher..!” sambungku tanpa suara. Hangat kembali menjalari tubuh bersama darah dari jantung yang memompa dengan kecepatan penuh, secercah sinar mulai menyentuh pupil dan mengantarkan informasi itu kesyaraf otakku, disekelilingku ada ayah dengan Al-Qur’an ditangan beliau, ada Kakak yang berdiri mematung, dan ada ibu dengan wajah lega ketika kubuka mata.



**


“tok..tok” pasti ibu mengira aku masih dalam selimut pagi ini, “iya bu..” aku membuka pintu dengan senyum mengembang, “mau jalan-jalan?” tanya ibu dan aku segera mengangguk.. hal yang sering kami lakukan setelah subuh hingga mentari terbit (meski aku rindu melihat semburat dari ufuk timur tersebut). Bersyukur Dia mau mengabulkan pinta terakhirku, bersyukur juga kini Dia ada (dan akan selalu ada) dihariku, bersyukur sebab Dia mengajariku pelajaran yang amat berharga tentang husnudzan yang ternyata berkawan baik dengan  sabar dan ikhlas. Kini aku tak marah, kecewa apalagi hedak meninggalkan-Nya.. terlalu bodoh jika pertanyaan retoris dalam surat cinta-Nya kuabaikan begitu saja “fabiayyi’ala irabbikuma tukadibaan?”. Tidak Ya Rahman,, aku tak hendak (dan tak ingin lagi) mendustakan semua nikmat-Mu, meski aku harus menghindar dari terik siang-Mu..biarlah bulan jadi mentariku, meski bocor tetap milik ginjalku tapi aku lebih beruntung dari mereka yang ginjalnya dicuri, meski ujung jariku sering biru sebab jantung tak mampu memberi oksigen yang cukup sampai disana tapi bukankah aku lebih beruntung dari mereka yang bahkan tak punya tangan. Jadi Terima Kasih Engkau telah memberiku hidup dan orang-orang yang membuatku merasa hidup. Dan jika Engkau hendak memanggilku, maka panggillah aku setelah melihat senyum ibu.

0 Comments:

Posting Komentar