“apa
kamu masih ingat kriteriaku dulu?”
Aku
diam.. mencoba mengingat-ingat rincian
poin yang pernah disampaikannya.
“kriteria
setelah memenuhi syaratkan?” aku mencoba mengalihkan sebab hanya beberapa yang
berhasil kuingat.
“tentu
saja.. syarat itu tak bisa diusik lagi” jawabnya cepat.
“hm..
pintar” tebakkan pertama yang kuyakin benar.
“ya..
apa lagi?”
Kembali
otakku melakukan pencarian.
“hitam
manis..” ujarku terkekeh,, aku masih ingat penjelasannya mengenai poin ini, dia
bersikeras tidak mau yang berwarna terang sebab tak pernah ada ‘white sweet’
ujarnya,, yang ada Cuma ‘black sweet’ dan itu yang dia mau.
“benar..
kemudian?”
“hm..
beri aku bocoran” jawabku setelah lama terdiam.
“aku
pernah berkata bahwa aku tidak mau lelaki kaya, lelaki yang dalam hidupnya
serba ada.. aku ingin lelaki yang tau makna kata bersabar ketika keterbatasan
mengekang keinginannya. Aku ingin dia yang terbiasa berjuang untuk mendapatkan
apa yang dia butuh”
Aku
mengangguk tipis,, ya.. dia pernah berkata seperti itu.
“lalu..?”
aku mengakhiri paragraf pembuka.
“dia
sepertinya dari keluarga itu” kembali otakku mencerna kata ‘itu’ sembari
menyesuaikan dengan intonasi yang baru saja digunakannya.
“apa
kamu ragu? Apa dia melanggar kriterimu karena orang tuanya kaya??”
“aku
hanya tidak ingin dia menganggap rendah keluargaku”
“apa
dia seperti itu?” tanpa jeda aku bertanya
“mungkin
tidak.. lalu bagaimana dengan keluarganya? Aku sungguh tidak terima jika orang
tuaku dipandang rendah hanya karena perkara harta” ada letupan emosi disana.
“ayolah..
tidak semua orang kaya seperti itu, pun.. apa kamu yakin dengan penilaianmu?”
“he..he..
tapi jika yang terjadi sesuai dengan bayanganku, maaf saja.. tidak akan sulit
mengakhiri semua itu demi orang tua”
“disaat
kebanyakan perempuan menginginkan laki-laki kaya.. kamu malah menghindari”
gumamku tak percaya
“aku
ingin rumah tanggaku berdiri sendiri, aku ingin kami mandiri dengan uang dari
hasil keringat kami” dia menghela nafas berat. “kamu tau bagaimana cara elang
mengajarkan anaknya terbang dengan gagah..?”
“bagaimana?”
“dia
akan melemparkan anaknya dari atas tebing tinggi, sesaat si anak merutuki ibunya tapi tak henti berharap bahwa kaki
kokoh ibunya akan segera membawanya kembali kesarang. ketika permukaan tanah
semakin jelas,, saat itu dia berusaha mengepakkan sayap kecilnya, berhenti
berharap pertolongan akan dan ternyata dia berhasil”
“lalu..
apa keputusanmu selanjutnya?”
Lama
dia terdiam
“entahlah..”
Kembali
aku tersenyum mendapati teman baikku terdengar gamang.
“jalani
saja dulu” ujarku sebelum mengakhiri pembicaraan.. aku harus segera mengajar
karena bel pertukaran jam sudah berbunyi.
0 Comments:
Posting Komentar